Selasa, 20 Desember 2016

Takdir dan Filsafat

Apa yang di maksud dengan kematian? dan bagaimana perspektif filsafat dalam memandang kematian itu sendiri. Itulah diantaranya pertanyaan saya mengenai kematian. Semua makhluk yang bernyawa pasti mengalami kematian, khususnya manusia. Kematian adalah proses yang alami. Ia telah berlangsung selama puluhan juta tahun di berbagai jenis kehidupan, dan dapat dipastikan akan terus berlangsung, sampai waktu yang tak dapat ditebak. Seperti dinyatakan oleh Steve Jobs pada pidatonya di Universitas Standford, kematian membuka peluang bagi yang baru untuk berkembang, dan yang lama untuk pergi. Kematian memastikan, bahwa roda dunia tetap berputar, dan dunia terus diperbarui oleh wajah-wajah baru yang sebelumnya tak ada.
Berbicara tentang kematian tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks filsafat, sebab kematian merupakan bahan kajian kefilsafatan yang tidak akan pernah usai dibicarakan. Pemahaman terhadap konsep kematian dilandasi oleh pandangan tentang manusia.
Bagaimana Plato seorang fisuf besar Yunani berbicara tentang kematian? Plato mengartikan kematian sebagai pemisahan bagian ruhaniah, yaitu jiwa, dari bagian fisik, yaitu badan. Setelah dipisahkan dari tubuh, jiwa dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan arwah orang lain yang telah meninggal, dan dibimbing oleh arwah pelindung melalui peralihan dari kehidupan fisik ke dunia selanjutnya. Dia menyebutkan bagaimana beberapa orang mengharapkan dijemput oleh sebuah perahu pada waktu kematian mereka, yang akan membawa mereka mengarungi lautan menuju “pantai seberang”. Lebih lanjut Plato menegaskan bahwa jiwa yang telah dipisahkan dari tubuh pada waktu kematian dapat berpikir dan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih jelas dari sebelumnya. Segera setelah kematian kata Plato, jiwa menghadapi “pengadilan” tempat suatu “makhluk” Yang Agung memperlihatkan di hadapannya semua yang telah dilakukannya, apakah itu baik atau buruk, dan memaksa jiwa menghadapinya. Dengan kata lain, tatkala jiwa sudah sampai kepada alam yang menjadi asal-usulnya, maka kepadanya akan diperlihatkan segala yang telah dia perbuat pada saat berada di dunia materi. Pada saat itu jiwa akan melihat segala yang terhalang baginya disebabkan oleh terlingkupi jasad—di dunia. Jiwa akan sadar terhadap baik dan buruk perilaku yang telah diperbuatnya di dunia karena pengaruh jasad. Namun dalam hal ini, Plato tidak menjelaskan apakah jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang terjadi di alam dunia, sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci agama-agama samawi. Berbeda dengan Plato, sang murid, Aristoteles, dalam memahami manusia menempuh jalan sendiri.
Ketika manusia mati ada sesuatu yang tetap abadi yakni ruh aktif. Jiwa itu bersifat Ilahiah karena berasal dari Yang Satu melalui Jiwa Dunia. Sedangkan tubuh berasal dari materi yang bisa menyebabkan jiwa dikuasai oleh nafsu dan penderitaan. Pada saat kematian manusia, maka jiwa berpisah dari tubuh. Jiwa meninggalkan tubuh dan dengan tanpa wujud kembali ke Jiwa Dunia. Pada saat kematian, jiwa menyisihkan yang jasmani dan kembali kepada yang ideal dan ruhani. Lewat pintu kematian, jiwa menuju kepada kemungkinan ultim-nya. Kemungkinan ultim ini terbuka bagi setiap orang, sehingga pada saatnya semua makhluk yang berjiwa akan kembali kepada Yang Satu. Mungkin yang dimaksudkan oleh Plotinos dengan Yang Satu itu adalah Allah. Hal ini ditegaskan oleh Hatta (1986 : 166) dengan menyatakan bahwa Plotinos dalam melihat segala yang ada dalam kosmos bertolak dari pemikiran adanya Allah sebagai yang tak terhingga pangkal segala-galanya.
Rene Descartes (1596-1650), yang diberi predikat sebagai Bapak Filsafat Modern, Menurut pendapatnya, jiwa dan tubuh adalah yang ruhani dan jasmani pada manusia. Tubuh dapat dilihat dalam bagian-bagiannya, sedangkan jiwa tidak. Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan tidak dapat mati. Pemikiran merupakan sifat asasi dari jiwa. Yang termasuk pemikiran ialah segala sesuatu yang terjadi di dalam diri manusia dengan sepengetahuannya, yaitu segala perbuatan pengenalan inderawi, khayalan, akal, kehendak. Kesadaran menjadi sifat hakiki dari pemikiran. Sementara itu, tubuh pun memiliki sifat asasinya, yakni keluasan. Segala perbuatannya disebabkan oleh sebab-sebab mekanisnya sendiri. Di antara tubuh dan jiwa ada pertentangan yang tidak terjembatani. Kesatuan yang tampak menurut Descartes hanya bersifat lahiriah saja, karena sesungguhnya masing-masing mewujudkan hal yang berdiri sendiri-sendiri. Hakikat manusia ada pada jiwanya dan tubuh diperalat oleh jiwa.
Walaupun Descartes tidak berbicara secara langsung tentang kematian, namun dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa dia memaklumi ada yang abadi dalam diri manusia, yaitu jiwa. Jiwa tak berkeluasan dan bebas dari ikatan tubuh. Ketika manusia mengalami kematian, unsur tubuh akan musnah tetapi jiwa akan tetap kekal dan hanya jiwa yang akan dapat mencapai kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi yakni kebenaran yang bukan merupakan hasil dari saling mempengaruhi antara jiwa dengan tubuh, melainkan kebenaran yang hanya diketahui oleh jiwa karena ketidakterikatannya terhadap tubuh.
Kematian, menurut Sartre, adalah suatu kenyataan yang muncul secara tiba-tiba dan buta, sehingga manusia tidak akan mampu untuk memahami dan mengontrolnya. Dia datang tanpa waktu yang jelas, menerobos dengan kejam dan selalu menggagalkan manusia dalam usahanya mengokohkan kehidupan. Kematian menjadi akhir kehidupan manusia yang penuh dengan kesia-siaan. Disebabkan kematian, semua kemungkinan yang telah kita realisasikan dalam kehidupan dimusnahkan. Kehidupan berubah menjadi kepingan-kepingan tiada makna. Hidup menjadi sia-sia belaka di dalam kematian.
Emmanuel Levinas mengemukakan setidaknya terdapat lima fungsi kematian, yaitu :
1.       Kematian mendorong manusia untuk menciptakan struktur kehidupan, untuk menciptakan berbagai kemungkinan yang lebih manusiawi. Dengan demikian, kematian mengandung nilai edukatif yakni mendorong manusia untuk bertindak, mengatasi dan membangun segala-galanya. Manusia ingin menunda kematian, maka dia perlu untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan kematian dapat dielakkan dalam arti penangguhan kejadiaannya. Manusia dapat menggunakan sisa-sisa hidupnya dengan melakukan berbagai tindakan yang baik.
2.       Kematian akan merealisir, mengkomparasikan, mengaitkan dengan barang-barang yang ada di dunia ini. Jika manusia mati, tidak satu pun barang-barang yang akan dibawa kecuali apabila itu disertakan oleh keluarganya ke liang kuburnya. Ketika manusia mati, maka segala yang dimiliki tidak akan berguna lagi dan ditinggalkan sebagai barang jarahan.
3.       Kematian akan merealisir peranan manusia di dalam masyarakat. Kematian mengajarkan adanya kesamaan yang mutlak untuk setiap orang. Orang yang mati di tempat tidur yang empuk dengan orang yang mati merana adalah sama, kedua-duanya sama-sama mati dengan terpisahnya jiwa sebagai substansi dengan tubuh.
4.       Kematian menelanjangi manusia dari egoisme kekuasaan dan kejayaannya. Maka pada dasarnya manusia adalah sama dan hanya kematianlah yang dapat menunjukkan bahwa manusia mutlak sama. Adanya perbedaan kaya-miskin akan ditiadakan oleh kematian.
5.       Kematian memberi makna bahwa manusia itu pada akhirnya memberi arti total pada sejarah hidupnya. Bila manusia sudah mati maka dia tidak dapat lagi mengubah orientasi hidupnya (Sudarminto 1990 28-33)

       Berbagai uraian seputar kematian dalam persperktif filsafat tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kematian bukan merupakan akhir eksistensi manusia. Kematian bukanlah peristiwa pasif yang terjadi pada manusia yang setelah itu tak memiliki makna apa pun lagi. Kematian hanyalah batas akhir dari garis waktu yang terbentang dalam sejarah hidupnya di dunia, setelah itu eksistensi manusia akan memasuki dimensi lainnya, yakni hidup dalam kehidupan yang abadi dalam alam kelanggengan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar